TEGAL. Kurang afdhol mengudap kuliner tusukan sate daging kambing apabila tak menyebut Kota Tegal. Sebab, aroma bakaran dagingnya memang menjadi menu andalan kota pesisir Pantai Utara Jawa ini.
Mencari warung olahan daging kambing di Tegal sangatlah mudah. Hampir semua warung menyediakannya, jumlahnya pun mencapai puluhan.
Untuk sampai ke lokasi ini tidak lah sulit. Dari arah Brebes ke Tegal, ada perempatan jalan (Pacific Mall) yang lurus ke arah semarang dan yang ke kanan ke arah Slawi. Ambil jalur kanan dan belok ke arah slawi dan memasuki jalan Kapten Sudibyo. Di ujung jalan ini berjejer penjual Sate Tirus. Silahkan pilih mana yang asli....he he he saya sendiri juga bingung mana yang asli. Atau semuanya asli?
Balibu (Bawah Lima Bulan)
Pria yang kini berusia 75 tahun adalah sebagai pelopor penjual sate di Komplek Tirus. Awalnya, Sakya tak berniat membuka warung sate kambing tapi warung tegal (Warteg) pada tahun 1980. “Sate kambing hanya sampingan,’ kata Shobirin, anak ke enam H. Yahya, yang kini mengelola warung pertama yang dirintis sang bapak.
Tak disangka, racikan sate kambing malah laku keras. Hal ini membuat H. Yahya memutuskan hanya menyediakan masakan daging kambing pada tahun 1985. Sop, gulai dan asem-asem adalah menu utama.
Kemashuran warung sate ini kemudian akhirnya membuat pria yang kini berumur 75 tahun mewariskan resep kepada delapan orang anaknya. Semuanya berjualan sate kambing Dan tercatat memilki sembilan warung, termasuk milik sang H Yahya.
Warung milik H. Yahya ini terbilang sederhana. Tercatat hanya ada tujuh kursi panjang yang mampu menampung pengunjung sebanyak 50 orang. Luas bangunan paling banter hanya 45 m2, sedangkan kondisi bangunan cukup tua dan belum ada renovasi sejak berdiri tahun 1980. ” Kami ingin mempertahankan ciri khas ini,” kata Shobirin.
Jam buka warung ini dari pukul 8 pagi hingga 10 malam. Guna memenuhi permintaan, setiap hari tak kurang dari tiga hingga empat ekor kambing yang diolah menjadi sekitar 600 hingga 800 tusuk sate.
Shobirin mengatakan kambing masih muda yang menjadi santapan para penyuka daging kambing. Harga per ekor pun di patok maksimal Rp 300 ribu per ekor. “Maksimal berumur lima bulan atau Bawah lima bulan (Balibu),” katanya.
Soal rasa, menurut saya biasa saja..... lumayan enak. Tapi agak liat dibandingkan dengan sate Pak Gino di Bandung langganan kami. Tapi lumayan lah untuk mengisi perut ketika melintasi kota tegal. Saya mencoba gule..... waduh kok rasanya hambar ya? Gule-nya tidak direkomendasi.
Menyantap sate di Tegal tak akan lengkap juga tak menyeruput teh poci. Minuman ni disajikan dengan poci yang terbuat dari tanah merah dan untuk pemanis adalah gula batu. Apabila keduanya disantap hangat-hangat kuku, klop.