Hampir di semua ruas jalan di Jogja, pasti kita temukan becak-becak yang lalu-lalang ataupun parkir menanti penumpang. Selain sebagai kendaraan para wisatawan yang sedang melancong ke Jogja, becak juga masih diperlukan oleh masyarakat Jogja untuk bepergian jarak dekat. Seperti Ibu-Ibu yang hendak berbelanja ke pasar, antar-jemput anak sekolah, ataupun karyawan kantor yang ingin jalan saat istirahat tetapi malas mengeluarkan kendaraannya sendiri (hehehe..kalau yang terakhir ini sih aku banget!!!).
Selain berfungsi sebagai tukang antar-jemput, Tukang Becak atau yang aku lebih sering sebut Pak Becak juga berfungsi sebagai pemandu wisata. Cukup banyak wisatawan yang terbantu dengan panduan Pak Becak. Bagi wisatawan yang belum pernah ke Jogja, mereka tinggal bertanya kepada pak Becak "Kalau mau cari bakpia dan gudeg dimana ya pak?" atau "Bisa antar saya beli kaos Dagadu?". Maka Pak Becak akan mengantar wisatawan menuju tempat yang dimaksud.
Kondisi di atas tentu saja ditanggapi dengan cepat oleh para pelaku bisnis. Pak Becak dinilai mempunyai potensi sebagai agen promosi untuk menawarkan barang dagangan mereka. Maka terjadilah perjanjian kerja antara Pak Becak dengan para pedagang makanan dan souvenir. Dengan membawa wisatawan/pembeli ke toko mereka, maka Pak Becak akan endapatkan fee. Hal ini mendatangkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya tentu saja wisatawan cukup terbantu dalam mencari barang-barang yang dia inginkan, namun negatifnya belum tentu barang yang dia dapatkan itu yang asli atau berkualitas terbaik karena Pak Becak akan mengarahkan wisatawan kepada rekan bisnisnya, tidak selalu pada alamat yang seharusnya.
Misalnya saja DAGADU
. Produknya telah menjadi salah satu identitas Jogja dan dicari oleh setiap wisatawan yang datang ke Jogja. Karena terkenal dan larisnya DAGADU maka muncullah produk-produk DAGADU palsu bagaikan jamur di musim hujan. Entah itu di emperan Malioboro, pasar Beringharjo, sekitar alun-alun utara sampai Ngasem, dan di tempat-tempat wisata lainnya. Padahal DAGADU asli hanya ada di basement Malioboro Mall dan di jalan Pakuningratan. Tapi jika kita bertemu dengan Pak Becak niscaya bukan ke Malioboro Mall atau ke Pakuningratan kita akan dibawanya.
Cara Pak Becak dalam menawarkan jasanya juga cukup agresif. Coba saja anda pergi ke Malioboro Mall (dimana counter DAGADU berada). Setelah keluar dari mall, pasti anda akan diserbu oleh Pak Becak yang menawarkan jasanya. "Mau ke DAGADU mas, mbak. Atau mau Cari Bakpia Pathuk? Geplak? Monggo saya antar ke pusatnya 5000 saja," demikian kalimat penawaran standar mereka. Dan tawaran ini disampaikan pada semua orang yang keluar mall tanpa memperhatikan keadaan orang yang ditawari. Biarpun orang itu terlihat memakai jaket, membawa tentengan tas belanja dan berjalan menuju parkiran motor, tetap saja akan dikejar dengan tawrannya.
Seperti yang pernah aku alami. Suatu ketika aku dan seorang teman (yang pada saat itu sedang istirahat dari tugas jaga di GADAGU) keluar dari mall. Tanpa memperhatikan kaos DAGADU yang dikenakan temanku, Pak Becak langsung menawarkan jasanya. "Mari Mbak, mau ke DAGADU? bakpia Pathuk? 5000 saja," Kontan teman-ku emosi dan menjawab dengan bahasa JAwa yg kalau diterjemahkan kira-kira begini "Mau ke DAGADU mana? Lha wong DAGADU-nya ada di mall ini?" jawabnya. Pak Becak tidak mau kalah "ini pusatnya mbak, di Ngasem, disana banyak sekali pilihan barangnya" Dengan muka yang merah menahan marah temanku lalu menyeretku pergi sambil berkata pada Pak Becak "Pak, ga liat apa ini kaos saya DAGADU asli, jadi saya tau dimana pusat DAGADU yang ASLI, karena saya kerja di DAGADU!!!!". Dan terdiamlah Pak Becak.
Hal ini tentu saja perlu diwaspadai oleh wisatawan yang datang ke Jogja, agar lebih berhati-hati terhadap tawaran Pak Becak dan lebih banyak mempelajari tujuan wisata sebelum berwisata agar mendapatkan kepuasan yang maksimal.
No comments:
Post a Comment